Kisah ini berkembang dari mulut ke mulut di sekitar Payabakung seperti dituturkan A Lai, generasi keempat Lim Chai Khoa penghuni rumah tandil warisan zaman Belanda di Desa Payabakung, Deliserdang, Sumatera Utara. Nah, dari bangunan bersejarah itulah cerita ini bermula…

Salah seorang kuli kontrak yang berhasil direkrut Belanda untuk bekerja di Sumatera adalah Lim Chai Khoa. Seorang pemuda yang berasal dari sebuah desa di Daratan Tiongkok. Pada sebuah siang, Lim Chai Khoa didatangi seorang agen tenaga kuli kontrak. Lim Chai Koa yang saat itu berusia duapuluhtahunan dan masih lajang memang sedang galau karena membutuhkan pekerjaan. Kondisi kehidupan masyarakat di daerah Lim Chai Khoa bermukim memang cukup sulit. Lapangan pekerjaan minim. Banyak penduduk desa yang miskin, termasuk keluarga Lim Chai Khoa yang hidup dari hasil pertanian yang tidak seberapa.
Sebagai seorang pemuda yang tampan, saat itu Lim Chai Khoa sudah memiliki kekasih yang amat dicintainya. Namanya, Hio A Toa. Seorang gadis cantik berkepang dua dari keluarga sederhana. Hio A Toa merupakan gadis pilihan orangtua Lim Chai Khoa. Jadi, mereka dijodohkan orangtua. Meski hubungan mereka hasil perjodohan, namun keduanya saling suka. Lim Chai Khoa sangat mencintai gadis pujaannya itu dan berniat menikahinya. Berhubung belum mempunyai pekerjaan tetap, Lim Chai Khoa berniat menikahi Hio setelah kelak mendapatkan pekarjaan. Niat itu pun sudah pernah diutarakan langsung Lim Chai Khoa kepada sang kekasih, pada sebuah malam di bangku taman desa ketika langit sedang purnama.
“Hio kekasihku, meski hubungan kita hasil perjodohan, terlepas dari semuanya itu, aku sangatlah mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Meski demikian tidak bisa buru-buru. Aku harus cari kerja dulu barulah kita menikah. Keluarga kita nanti tidak boleh dililit kemiskinan,” kata Lim kepada Hio.
“Baiklah Lim, aku percaya padamu. Aku sabar menunggu, sampai tercapai cita-citamu dan kita menikah. Apakah rencanamu untuk mendapatkan pekerjaan itu?” kata Hio pada sang kekasih, Lim.
Lim terdiam, berfikir. Hio terdiam, menunggu jawaban. Suasana menjadi hening. Cuma terdengar desir angin memainkan pucuk bambu. Di hadapan kekasihnya itu, Lim sebenarnya masih menimbang-nimbang soal tawaran seorang agen kuli kontrak yang mendatanginya tadi siang. Cong, nama ahen kuli itu, mengajaknya merantau ke Pulau Sumatera untuk bekerja pada perusahaan perkebunan tembakau milik Belanda. Dalam pikirannya berkecamuk, antara menerima atau menolak tawaran itu.
Pasalnya, Lim masih belum siap meninggalkan kedua orangtua dan keluarganya jauh-jauh. Daratan Tiongkok-Pulau Sumatera merupakan rutr perjalan yang amat panjang. Butuh waktu berminggu-minggu naik kapal laut. Selain itu, Lim juga belum punya pengalaman bekerja di sebuah perusahaan besar perkebunan. Selama ini ia memiliki keterampilan bertani yang sangat terbatas karena sering membantu ayahnya ke ladang sebagai petani sayur dengan lahan yang tak seberapa.
Lim merasa dirinya tidak memiliki bekal keterampilan bekerja yang memadai. Hal itu membuat ia gamang menerima tawaran sebagai kuli kontrak ke Pulau Sumatera. Satu-satunya kelebihan Lim adalah keterampilan seni bela diri, kungfu. Dia belajar kungfu pada paman Chan yangmerupakan seorang pendekar dengan ilmu kungfu yang tinggi.
Selain itu, Lim sebelumnya mendengar kabar Pulau Sumatera merupakan medan yang kejam di antara daerah jajahan kawasan Asia lainnya. Pada waktu itu, kabar peluang pekerjaan di daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa memang menjadi pembicaraan masyarakat di kampung Lim. Di kalangan calon angkatan kerja migran dari Cina, Pulau Sumatera merupakan kawasan yang sedapat mungkin harus dihindari. Alasannya, kawasan ini dikenal sebagai daerah yang tidak kondusif untuk bekerja pada era penjajahan karena selain hutannya sangat ganas dengan pepohonan yang lebat serta hewan buas, juga karena adanya perlawanan-perlawanan para pejuang terhadap Belanda.
Lim Chai Khoa berada dalam situasi yang dilematis. Lim sangat mempertimbangkan kecakapan pengalaman kerja yang belum dia miliki di medan ganas yang akan dia datangi, di lain sisi ia sangat membutuhkan pekerjaan itu. Setelah ditimbang-timbang dengan cermat, akhirnya Lim sampai pada satu keputusan yang bulat. Demi kekasihnya dan demi cita-citanya.
“Kesempatan tidak datang dua kali. Aku harus menerima tawaran menjadi kuli kontrak itu, apa pun risikonya. Aku harus keluar dari kemiskinan di kampungku. Takadku sudah bulat, ingin ikut program kuli kontrak ke Pulau Sumatera,”kata Lim pada kekasihnyadengan hati yang mantab.
“Aku sabar menunggumu kembali untuk menjemputku, aku mendoakanmu,” kata Hio tertunduk haru.
Hati Hio campur aduk, antara cemas kehilangan Lim dan melihat tanda-tanda secercah harapan bagi kehidupan baru yang mereka cita-citakan.
Sekarang giliran Hio yang terdiam. Melamun. Merenung. Memimikirkan. Mencemaskan. Bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi untuk ke depannya.
“Hio, kok diam?” tanya Lim.
“Aku mencemaskanmu, tak sanggup berpisah denganmu?”
“Percayalah aku tidak apa-apa dan akan kembali untukmu. Aku akan menjemputmu kalau kita berhasil nanti,”katanya.
***
Senja turun di dermaga ketika ribuan calon penumpang dengan perbekalan masing-masing, menaiki tangga kapal api. Mereka adalah para pamuda Cina yang direkrut Belanda untuk menjadi buruh atau tepatnya kuli migran yang akan ditempatkan di perkebunan daerah Sumatera. Di bawah langit jingga, camar bermain dengan deru ombak. Matahari meredup di balik awan, kemudian tenggelam di batas cakrawala.
Lim Chai Khoa melangkahkan kakinya dengan pasti menuju tangga kapal. Tapak kakinya mulai menapak anak tangga satu per satu di antara tapak kaki penumpang kapal lainnya yang berbaris menuju lambung kapal. Mereka siap diberangkatkan. Di sore yang cerah itu, setelah awak kapal memastikan tidak ada penumpang yang tertinggal, kapal perlahan menjauhi dermaga melaju dengan kecepatan rata-rata.
Beberapa saat perjalanan, hari pun mulai gelap. Kapal semakin jauh meninggalkan dermaga, hanya lampu pemandu yang masih terlihat dari pelabuhan yang ditinggalkan. Lim Chai Khoa sempat mengamati langit Laut Cina Selatan dari buritan kapal. Gelap, tanpa bintang. Saat itu kira-kira sekitar lima jam perjalanan. Pikiran Lim Chai Khoa mulai mengawang, tentang kehidupan dan tantangan baru yang akan dihadapi di tanah rantau. Tentang sebuah harapan di mana kelak ia bisa kembali dengan membawa bekal hasil bekerja untuk menikah dengan Hio A Teong, gadis pujaannya.
Keluar dari semua lamunan itu, Lim Chai Khoa amat menikmati pelayaran pertamanya di atas kapal besar yang mengangkut ribuan pemuda Cina yang mengikat kontrak menjadi kuli Belanda, termasuk dirinya. Ya. Dia bisa sampai di atas kapal yang tengah berlayar mengarungi samudera menuju Pulau Sumatera, atas bujukan Cong sahabat salah seorang pamannya.
Perjalanan kapal yang memakan waktu berminggu-minggu bisa melupakan sejenak apa yang disangsikan Lim Chai Koa di tanah rantau. Sepanjang pelayaran, Lim Chai Khoa berusaha menikmati pengalaman pertamanya berlayar itu. Di atas geladak kapal, Lim Chai Khoa, tidak henti-hentinya memandang laut lepas. Sejauh mata memandang hanya air menembus kaki langit. Tidak ada suara aktivitas daratan, kecuali desau angin dan buih ombak yang diterjang kapal.
Tidak terasa, kapal telah masuk alur Selat Malaka, namun belum sampai ke dermaga. Bahkan petugas di dermaga pelabuhan telah diberitahu kapal segera merapat. Beberapa awak kapal memberitahu penumpang, bahwa kapal sudah dekat ke dermaga pelabuhan. Tak lama jangkar diturunkan. Kapal pun sandar ke pelabuhan.
Satu per satu penumpang menuruni tangga. Mereka saling berdesakan seakan tak sabar ingin menjejakkan kaki di bumi pengharapan, Pulau Sumatera. Termasuk rasa penasaran Lim Chai Khoa tidak terbendung. Ingin cepat-cepat menginjakkan kaki ke tanah yang kata Paman Cong menyimpan peluang besar. Tempat yang pas untuk mengubah lamunan menjadi orang kaya menjadi nyata.
Saat kedua kaki kokohnya sudah turun di anak tangga terakhir dan menjejakkan kaki ke tanah pesisir Sumatera, Lim Chai Koa segera mengedarkan pandang ke sekeliling. Dia hirup udara Sumatera untuk pertama kalinya.
“Hmmm. Udara yang segar dari tanah yang subur,”gumamnya.
Mata Lim Chai Koa memandang sekeliling dengan rasa takjub menyaksikan pohon-pohon nyiur menjulang dengan sirip daunnya berwarna hijau mengkilap ditimpa terik matahari seakan menari-nari menyambut kedatangan para kuli. Panarama alam tropis yang subur mengundang decak kagum seluruh penumpang kapal yang berisi para pemuda dari pedalaman Cina yang datang dengan niat ingin mengubah nasib. Lim Chai Koa pun kian percaya bujukan Paman Acong yang menjanjikan Pulau Sumatera adalah tanah subur yang akan memberi harapan baru. ***
Mengawali hari di Tanah Deli, para calon kuli kontrak dikumpulkan di halaman sebuah bangunan mirip bangsal. Mereka dibariskan. Diperkirakan jumlahnya ribuan. Di tempat pengumpulan para calon kuli itu, Lim Chai Khoa baru mengetahui jika mereka bukan hanya berasal dari Cina. Para calon kuli direkrut Belanda dari berbagai bangsa. Mereka dibariskan menurut suku bangsa dan asal daerah atau wilayah perekrutan.Mereka direkrut dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia atau berbagai negara di Asia. Dari Pulau Jawa ada suku Jawa dan Banten. Dari Kalimantan, ada suku Banjar. Dari kawasan Asia ada Keling ( India ) dan Cina.
Konon sebelum melakukan perekrutan, Belanda memang terlebih dahulu mempelajari ilmu antropologi dan karakteristik masing-masing suku bangsa. Berdasarkan kajian itu pula Belanda membagi-bagi mereka menurut kelompok dan keahlian. Orang Jawa dan Cina dipercaya mengolah tanah, Orang Keling bertugas mengaspal jalan, Orang Banjar membuat bangsal. Setelah diidentifikasi menurut kelumpok suku bangsa dan penugasannya, para calon kuli kontrak ini kemudian disebar ke wilayah-wilayah perkebunan yang dibuka Belanda di kawasan Sumatera Timur.
Lim Chai Khoa dari kelompok kuli Cina dan bersama-sama kelompok kuli dari suku Jawa, Banten, Sunda, Minang, Keling dan Banjar mendapat penempatan tugas menggarap lahan di kawasan Payabakung yang sekarang ini masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Sebuah catatan menyebut, sebelumnya Belanda ada merekrut orang-orang Karo dan orang-orang Melayu. Namun Belanda merasa, pribumi kurang suka bekerja di perkebunan-perkebunan ini, walaupun ditempatkan di kantor, apalagi menjadi kuli/buruh. Mereka tidak mau masuk perangkap, dan lebih suka bekerja bebas. Sudah menjadi adat dunia, orang yang tidak disukai apalagi orang yang tidak mau diperintah selalu dicerca penjajah Belanda.
Di lain sisi, di balik kebebasan-kebebasan yang diberikan, Belanda memiliki tujuan terselubung. Dengan membuka tempat-tempat hiburan di setiap perkebunan, tidak lain memiliki tujuan agar uang gaji yang diterima para kuli dihabiskan untuk kesenangan di pasar malam yang dikelola oleh pengusaha dari kalangan orang-orang Belanda sendiri. Dengan cara demikian, siklus perputaran uang bermuara kembali kepada pengusaha Belanda. Bila uang para kuli habis, ketergantungan kuli untuk bekerja lagi pada Belanda semakin kuat. Karena itulah para kuli tetap melarat sementara orang-orang Belanda banyak yang menjadi konglomerat.
Di tengah situasi itu Lim Chai Koa menikmati pekerjaannya sebagai kuli kontrak yang mengolah lahan di perkebunan Payabakung bersama-sama kuli dari suku-suku lainnya. Seperti dijanjikan Paman Cong yang merekrutnya saat tinggal di kampung halaman, para kuli kontrak ini memang mendapatkan jatah tempat tinggal. Mereka tinggal di sebuah bangunan besar mirip bangsal yang dihuni oleh puluhan hingga ratusan kuli. Fasilitas tempat tinggal para kuli ini berupa tempat tidur massal, dapur umum, kamar mandi umum dan penerangan lampu sentir atau lampu minyak.
Suka tidak suka, Lim Chai Koa dan ribuan kuli kontrak lainnya harus menerimanya. Uniknya dari bangunan pondok kuli kontrak perkebunan Belanda ini, pondok dibangun dengan ciri menurut suku dan asal daerah perekrutan. Belanda memang tidak membaurkan para suku asal kuli dalam sebuah hunian. Mereka dipisahkan menurut suku dan keahlian masing-masing.
Contohnya, pondok yang dihuni kuli kontrak dari daerah Jawa biasanya dibangun dengan ciri atap genteng. Jadi bila ditemukan sebuah pondok perkebunan beratap genteng dipastikan penghuninya merupakan kuli dari suku Jawa. Konon, kuli dari suku Jawa ini dipekerjakan Belanda untuk mengolah lahan dan mencari ulat dari daun tembakau. Karena itulah, tempat hunian para kuli dari suku Jawa di daerah perkebunan dinamakan Pondok Genteng.
Ada pula Pondok Terpal. Pondok terpal adalah pondok yang dibangun dengan atap terpal berwarna hitam, mirip tenda darurat. Ini biasanya dikhususkan bagi kuli yang tugasnya bekerja membangun jalan. Pada umumnya, pondok terpal dihuni oleh para kuli yang berasal dari India Tamil. Kuli dari India Tamil ini terkenal ahli dalam membuat jalan. Tampaknya Belanda telah melakukan riset sehingga perekrutan tenaga kerja dilakukan menurut keahlian suku-suku dan bangsa tertentu sesuai kebutuhan.
Bangunan bangsal, dipercayakan kepada kuli yang berasal dari suku Banjar. Bangunan bangsal biasanya merupakan bangunan yang sangat besar dengan konstruksi dari bambu atau kayu dengan atap nipah. Mungkin Belanda telah mempelajari bahwa suku-suku di Kalimantan memang ahli membuat rumah adat dengan konstruksi bangunan yang luas dan besar bisa dihuni ratusan keluarga di dalamnya.
Sementara Lim Chai Khoa dan kuli dari keturunan Cina lainnya menghuni pondok beratap seng. Karena itulah kawasan mereka bermukim disebut Pondok Seng, sebutan lainnya Kongsi. Kuli dari keturunan Cina ini dipercayakan untuk mengolah tanah, khususnya membuat bedengan. Selain membuat bedengan untuk tanaman tembakau, kuli kontrak keturunan Cina ini dipercayakan untuk bidang pertukangan. Mereka dipercaya untuk membuat kusen pintu dan jendela atau membuat mobiler. Lim Chai Khoa kebetulan di awal-awal penugasan kerja bergabung dengan kelompok pengolah lahan.
***

Setiap akhir pekan awal bulan, kawasan perkebunan Payabakung tempat Lim Chai Khoa bekerja, merupakan waktu yang ditunggu-tunggu. Saat itulah para kuli menikmati kesenangan dengan uang hasil gajian mereka di sebuah pasar malam yang digelar di lapangan perkebunan.
Pasar malam menggelar berbagai permainan rekreasi maupun ketangkasan menawarkan sujumlah hadiah. Ada pula pertunjukan hiburan rakyat dan perdagangan aneka macam kuliner dan produksi industri serta kerajinan rakyat. Segala kebutuhan kesenangan seperti pakaian yang bagus bagus, makanan yang enak-enak maupun makanan rakyat dijual di pasar malam. Pasar malam biasanya diadakan oleh pengusaha orang Belanda.
Di balik kesenangan para kuli menikmati hiburan pasar malam, ada keresahan para pengunjung dan pedagang pasar malam atas kehadiran seorang tandil (mandor penguasa perkebunan Belanda) yang bertindak arogan serta sewenang-wenang kepada rakyat dan pedagang pasar malam. Di pasar malam dia minum minuman keras dan mabuk-mabukan, suka memeras pedagang kecil dan menindas rakyat kecil dengan bertindak sewenang-wenang. Sang tandil bersama pengikutnya selalu berbuat onar dan meresahkan. Banyak para kuli dan rakyat takut dengan tindakannya dan tidak melakukan perlawanan. Maklum, tandil pada masa itu merupakan jabatan yang disegani karena merupakan penguasa kecil di wilayah perkebunan.
Keresahaan akibat ulah seorang centeng dan pengikutnya sebenarnya sudah lama terdengar Lim Chai Khoa yang saat itu masih menjadi kuli. Hati kecilnya sebenarnya sangat geram, namun selalu ia pendam. Malam itu, Lim Chai Khoa ,bersama beberapa temannya sesama kuli yang masih lajang mencoba mencari hiburan di pasar malam. Dia berkeliling pasar malam dan sangat menikmati suasananya, hingga kesenangannya itu terusik setelah mendengar sebuah keributan di salah satu sudut area pasar malam.
Lim Chai Khoa melihat seorang centeng kejam itu menganiaya seorang ibu tua penjual kacang rebus. Pasalnya, si ibu tua tidak memberinya upeti karena dagangannya belum banyak yang laku. Sang tandil kejam itu menghardik dan menganiaya penjual kacang rebus dengan kasar.
Para pengunjung lainnya hanya terdiam menyaksikan pemandangan yang tidak pantas itu. Lim Chai Khoa berada tak jauh dari kejadian keributan itu. Dia melihat sang ibu menangis dan berlutut di kaki sangcenteng sembari minta ampun minta dikasihani. Namun sang centeng dengan pongah tidak ambil peduli.
“Ampun tuanku, ampunkan hamba,” kata si bu sembari menyembah.
“Pergi kau dari sini!” kata sang tandil sambil menendang tampah dagangan hingga berserakan tak kenal belas kasihan.
Hati Lim Chai Khoa geram sekali. Saat kaki sang centeng kejam berusaha untuk menendang sang ibu kedua kali, saat itu kaki lincah Lim Chai Khoa lebih dahulu menghalangi, sehingga tubuh sang ibu terlindungi dari tendangan sepatu lars sang centeng kejam.
Hal itu membuat centeng sangat marah. Matanya melotot ke arah Lim Chai Khoa. Dia tidak menyangka masih ada yang berani melawannya di saat yang lain selama ini tidak ada yang berani terhadap apa pun yang ia lakukan. Suasana tegang, orang-orang kagum terhadap keberanian Lim Chai Khoa akan tetapi mereka tidak berani mengekspresikannya karena takut terhadap sang tandil yang sedang merasa malu karena mendapat perlawanan dari seorang kuli yang masih muda.
“Hei anak muda bedebah, beraninya kau melawan aku ya?” kata centeng sembari mencengkeram baju di bagian dada Lim Chai Khoa.
“Mohon maaf tuanku, ibu itu orangtua tidak berdaya tidak sepantasnya Anda menganiayanya,” kata Lim Chai Khoa.
“Itu bukan urusanmu, hei..anak kecil,” kata centeng dengan sombongnya sambil mendorong tubuh Lim Chai Khoa hingga terjerembab ke tanah.
Tidak cukup sampai di situ. Sang centeng marah sekali. Saat tubuh Lim Chai Khoa tersungkur ke tanah, dengan rasa marah yang luar biasa kaki sang centeng meluncur ke arah tubuh Lim Chai Khoa.
Tapi Lim tidak kalah gesit. Tubuhnya segera berkelit mengindar, lalu kedua kakinya menghentak tanah. Dia berjungkit, lalu melompat beberapa langkah ke belakang menghindari serangan kaki sang centeng. Marah si centeng semakin menjadi, dia pun melakukan serangan bertubi-tubi kepada Lim Chai Khoa.
Saat itulah Lim Chai Khoa menggunakan keahlian bela diri kungfu yang diajarkan paman Chan di kampungnya. Lim pasang kuda-kuda sembari bertahan menangkis dan menghindari serangan yang tak satu pun mengenai tubuhnya. Karena serangan tidak ada yang mengenai, membuat sang centeng semakin emosi dan geram. Sejauh itu, Lim tidak melakukan penyerangan balasan kecuali hanya bertahan, menangkis dan menghindari serangan.
Rupanya, sang centeng kewalahan juga dengan daya tahan Lim Chai Khoa. Sang centeng kemudian meminta bantuan pengikutnya untuk mengeroyok Lim Chai Khoa. Perkelahian tidak seimbang membuat Lim Chai Khoa merasa terdesak juga. Saatnya Lim Chai Khoa memberi pelajaran kepada centeng dan pengikutnya agar tidak lagi berlaku sewenang-wenang. Sekali gebrak membuat centeng dan pengikutnya terkejut terhadap keberanian Lim Chai Khoa. Pemuda itu lalu melanjarkan jurus-jurus andalan hingga membuat lawan kewalahan. Centeng dan pengikutnya roboh terkena jurus-jurus yang dilancarkan Lim Chai Khoa.
Setelah memastikan Centeng dan pengikutnya tidak lagi melawan, Lim Chai Khoa menghentikan serangan. Ia berdiri tegap sambil membetulkan kerah baju serta membersihkan tubuhnya yang kotor saat jatuh ke tanah. Centeng dan pengikutnya lari terbirit-birit. Lim Chai Khoa kembali teringat sang ibu tua penjual kacang rebus tidak berdaya. Lim Chai Khoa dan kawan-kawannya ikut membantu memungut dagangan si ibu yang berserakan akibat ulah sang centeng yang arogan.
***
Sejak peristiwa mengamankan kerusuhan di pasar malam itu, nama Lim Chai Khoa menjadi terkenal seantoro perkebunan. Keahliannya bermain kungfu dan keberhasilannya menaklukkan centeng arogan membuat Lim Chai Khoa disegani dan dihormati para kuli lainnya. Lim dianggap bukan kuli sembarangan. Ia seorang kuli yang jagoan dan baik hati.
Meski Lim seorang yang disegani, tak lantas membuat ia menyombongkan diri. Dia berperilaku santun terhadap kawan-kawannya sesama kuli maupun penduduk kampung Paya Bakung. Dia bebas bergail dengan siapa saja, tidak membeda-bedakan ras suku, status sosial maupun keyakinan mereka.
Sebagaimana disebutkan, Belanda telah merekrut kuli kontrak dari berbagai ras di Asia Tenggara. Bahkan Belanda mengelompok-ngelompokkan pemukiman mereka berdasarkan ras dan keahlian. Sekadar mengingatkan kembali, suku Jawa yang tinggal di Pondok Genteng dipekerjakan sebagai pengolah lahan dan mencari ulat daun, suku Tionghoa yang tinggal di Pondok Seng dipekerjakan di bidang pertukangan dan membuat bedengan lahan dan suku India Tamil tinggal di Pondok Terpal dipekerjakan membuat jalan. Namun, Lim Chai Khoa tidak pernah membeda-bedakan mereka. Karena itulah pergaulan Lim menjadi luas. Lim banyak teman dari berbagai suku dan keyakinan di seluruh wilayah perkebunan Paya Bakung.
Kabar tentang sosok kharismatik Lim Chai Koa yang disegani dan berhasil melawan kejahatan dengan ilmu bela diri yang dimiliknya, rupanya sampai juga ke pihak Belanda. Lim Chai Khoa kemudian diangkat oleh Belanda sebagai tandil. Tandil merupakan sebuah jabatan setingkat mandor besar di wilayah perkebunan dengan wilayah kekuasaan. Pada zaman itu, menjadi seorang Tandil merupakan jabatan bergengsi. Tandil adalah orang-orang pilihan. Tionghoa sedikit dari kebanyakan Tandil yang berasal dari kalangan pribumi, umumnya koeli kontrak asal Jawa dan sedikit dari kalangan Melayu.
Biasanya seorang Tandil adalah orang yang memiliki kecakapan khusus, tidak hanya kecakapan memimpin namun memiliki keterampilan bela diri yang memadai. Karena itulah Tandil adalah sosok yang disegani bahkan ditakuti. Tandil adalah raja kecil di wilayah administrasi perkebunan Belanda. Tugas seorang Tandil ibarat menejer lapangan atau menejer SDM yang mengatur dan mengordinir serta mengawasi para kuli perkebunan.
Tak heran bila Belanda memberikan fasilitas istimewa, termasuk rumah dinas yang besar dan megah pada zamannya. Sejumlah rumah dinas para Tandil yang dibangun sejak zaman Belanda itu masih mudah ditemukan di kawasan perkebunan di Sumatera Utara yang beberapa di antaranya masih ditempati para administreteur atau asisten kebun, namun banyak juga yang dibiarkan kosong tak berpenghuni alias ditelantarkan.
Sebagai seorang tandil, Lim Chai Khoa pun mendapatkan fasilitas rumah tandil di kawasan Payabakung, daerah kekuasaannya. Sejak diangkat menjadi tandil oleh Belanda, Lim Chai Khoa meninggalkan pondok seng, tempat tinggal para kuli. Ia resmi menempati rumah tandil. Meskipun dia menjadi tandil, Lim Chai Khoa tetap menjaga hubungan baik dengan para kuli.
Rumah tandil yang ditempati Lim Chai Khoa itu merupakan bangunan rumah panggung yang kokoh bercat putih. Rumah warisan sejarah itu masih dapat disaksikan sampai sekarang dan menjadi saksi bisu sejarah kuli kebun Payabakung di masa lampau. Sayangnya, tidak ada keterangan tahun berapa rumah Tandil itu dibangun. Namun ada angka 1925 tertulis menggunakan cat warna hitam di salah satu sisi tiang penopang bangunan yang menghadap ke jalan. Menurut keterangan ahli waris, angka itu menunjukkan tahun direnovasi bangunan itu, bukan menunjukkan tahun dibangun. Artinya pada tahun 1925 rumah Tandil mengalami pemugaran.
Bangunan terdiri dua bagian penting. Bangunan induk berada di depan, merupakan rumah panggung yang ditopang 9 tiang penyangga beton. Di bangunan utama ini sang mandor besar Lim Chai Koa atau akrab dipanggil Baba Tandil tinggal bersama keluarganya. Rata-rata rumah dinas pejabat perkebunan zaman dulu dibangun model panggung, bukan tanpa alasan. Konon hal itu dilakukan untuk menghindari serangan binatang buas dan banjir.
Sementara di bagian belakang bangunan induk, terdapat bangunan tidak berpanggung alias rumah lantai dasar. Bangunan induk berjarak sekitar 20 meteran dengan bangunan belakang dihubungkan dengan koridor beratap genteng. Bangunan belakang terdiri beberapa ruangan dan gudang. Bangunan belakang rumah induk itu merupakan rumah pembantu dan dapur serta gudang penyimpanan barang-barang.
***
Masih ingat dengan kekasih Lim Chai Khoa yang ditinggalkannya merantau ke Sumatera? Setelah diangkat menjadi seorang tandil, saatnya Baba Tandil Lim Chai Khoa menunaikan janjinya kepada sang gadis pujaan di kampung halaman bernama Hio A Teong. Lim pun pulang ke Tiongkok untuk menjemput kekasihnya itu dan menikahinya. Betapa bahagianya hati Hio A Teong. Dia pun rela meninggalkan kampung halaman dan menempuh hidup baru di Pulau Sumatera bersama Lim Chai Khoa.
Tak banyak pemuda Tionghoa seberuntung Lim Chai Khoa. Banyak pemuda Cina direkrut Belanda dalam keadaan lajang, namun mereka tidak bisa pulang menjemput gadis pujaannya di kampung halaman karena ketiadaan uang. Hidup menjadi kuli perkebunan Belanda dengan segala strategi bangsa penjajah itu untuk menguasai ekonomi, membuat kehidupan para kuli ini tetap melarat. Kalau tidak pandai-pandai mengelola keuangan, setelah gajian uang langsung habis di pasar malam atau fasilitas kesenangan lainnya. Belanda menciptakan situasi itu agar para kuli memiliki ketergantungan bekerja pada mereka. Bila gaji kuli habis di arena kesenangan mulai perjudian hingga prostitusi atau madat, para kuli akan kembali giat bekerja untuk mencari uang dan menghabiskannya kembali. Begitulah cara penjajah membentuk mental kuli yang akan menguntungkan penjajah.
Dengan kondisi itu, banyak impian pemuda Tionghoa untuk kembali pulang ke kampung halamannya menjadi kandas. Tidak hanya para kuli Tionghoa, demikian pula para kuli dari suku Jawa, Banjar, Keling dan lainnya. Mereka tidak bisa pulang ke kampung halaman hingga menetap di daerah jajahan Belanda dan menemukan jodohnya di kampung itu.
Baba Tandil Lim Chai Khoa sedikit dari pemuda Tionghoa yang menikah dengan gadis pujaan dari kampung halamannya. Kebanyakan para kuli kontrak Tionghoa ini menikah dengan gadis setempat hingga beranak pinak hingga terjadi pergolakan perjuangan merebut kemerdekaan dan serahterima kedaulatan, Baba Tandil dan para kuli kontrak Tionghoa tak pernah kembali lagi ke Tiongkok. Dia bersama sang istri mengarungi bahtera rumah tangga hingga dikaruniai anak beranak pinak di rumah Tandil itu.

***
. Diceritakan, sebagai mandor besar koeli perkebunan, anak buah Baba Tandil terdiri dari beragam etnis—Jawa, India, Batak, Banten, Banjar, Tionghoa dan lainnya. Setiap Hari Raya Imlek, rumah tandil yang dihuni Baba Tandil penuh dengan para tamu yang beragam tadi. Sang mandor besar memperlakukan sama tidak membedakan satu di antara lainnya.
Baba Tandil pun menjadi mandor besar yang disegani. Begitu pula saat berlangsung Hari Raya Idul Fitri dan hari raya keagamaan lain, keluarga Baba Tandil seakan ikut merayakannya. Mereka juga membuat acara makan-makan untuk tamu-tamu yang merayakan Lebaran. Pada saat Lebaran, Baba Tandil dan keluarga rajin melakukan kunjungan balasan ke rumah-rumah warga.
Hebatnya, tradisi menjaga tali silaturahmi sesama warga itu masih hidup dan lestari di keluarga keturunan Baba Tandil Lim Chai Koa sampai sekarang. Setiap Lebaran, banyak warga yang mengantar kue dan makanan di rumah tandil. Penghuni rumah yang penganut Kong Hu Chu ini ikut merasakan nuansa Lebaran. Mereka juga bersilaturahmi kepada warga yang merayakan Lebaran.
Ketika Imlek tiba, giliran keluarga di rumah Tandil pula mengantar makanan ke rumah warga. Jenis makanan yang di antar pun terpilih karena keluarga turunan Baba Tandil menghormati perbedaan keyakinan dengan para tetangga. Bila makanan yang di antar untuk warga Muslim, biasanya dalam bentuk kue-kue kering yang umum dan halal atau buah-buahan dan sayuran. Toleransi di daerah ini berkembang secara wajar dan alamiah. Hubungan yang terjalin antar sesama merefleksikan kodrat manusia sebagai mahluk sosial.
Konon, pada masa peralihan kekuasaan aset perkebunan Belanda kepada Indonesia, banyak koeli Tionghoa yang yang tidak diteruskan sebagai karyawan perkebunan negara dengan berbagai alasan. Mereka tidak pula kembali ke kampung halaman dan memutuskan menetap di Tanah Deli. Di antara koeli kontrak Tionghoa yang memilih menetap di Tanah Deli Baba Tandil Lim Chai Koa sungguh beruntung. Saat serah terima aset pasca kemerdekaan, rumah tandil dihibahkan langsung oleh Belanda kepada Baba Tandil sebagai penghargaan atas jasa-jasanya di perkebunan.
Sejak saat itu Baba Tandil dan keturunannya menempati kompleks pemukiman rumah tandil Payabakung. Impian Baba Tandil Lim Chai Khoa bersama kekasihnya Hio A Teong berakhir di sana hingga sepasang kekasih setia itu menutup mata di Payabakung, Tanah Deli, Pulau Sumatera, negeri jajahan Belanda.
Pesan moral dari cerita ini, meski memiliki ilmu keahlian yang tinggi tidak harus menyombongkan diri. Manfaatkan ilmu beladiri sesuai kebutuhannya, jangan disalahgunakan untuk menakuti dan menindas sesama manusia. Kepemimpinan dan kekuasaan yang dikendalikan dengan arogansi dan kekerasan hanya menghasilkan keresahan dan kerusuhan. Kepemimpinan yang dikendalikan dengan kelembutan hati melahirkan kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai
https://pemkomedan.go.id/artikel-18309-baba-tandil-dari-payabakung-bagian-1.html
https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/7/2/248045/melacak-jejak-koeli-kontrak/


Paja Bakoeng was an estate under Deli-Matschappij. The estate was established in 1888 with a 60 year lease. In 1891, the administrator was L. Willekes Mac Donald, with a 3720 bouw area, the lease ended in 15 Sept 1948. It had 442 Chinese, 177 Javanese, 59 Klings, 30 Baweans.
In 1910, the adminstrator was J. Ruijsenaars
Leave a comment